Selasa, 17 Mei 2011

Tugas dan Tanggung Jawab Menjadi Seorang Pemimpin

Saya mencoba menjelaskan, bahwa pemimpin itu banyak macamnya. Ada pemimpin olah raga, seperti misalnya pemimpin pemain sepak bola, bola basket, folly ball, dan lain-lain. Juga ada pemimpin lembaga pendidikan, seperti kyai pesantren, kepala sekolah, pemimpin perguruan tinggi yang disebut dengan rektor. Ada juga pemimpin pemerintahan, atau seringkali disebut pejabat, dari yang terbawah sampai yang tertinggi, mulai kepala desa, atau lurah, camat, bupati, wali kota gubernur sampai presiden. Selain itu ada pemimpin perusahaan, usaha apa saja, misalnya tekstil, perusahaan rokok, perusahaan mobil, perusahaan, perbankan, asuransi, transportasi. Contoh-contoh tersebut, tentu yang dikenal bagus. Sebab selain itu juga ada pemimpin komunitas yang tidak bagus, yang tentu tidak perlu ditambahkan di sini. Dan, tentu saja yang dicita-citakan anak muda yang disebutkan di muka adalah pemimpin yang bagus-bagus itu.

Kemudian saya menjelaskan bahwa seorang pemimpin, agar kepemimpinannya sukses harus memiliki beberapa modal sebagai bekalnya. Di antaranya, pertama, seorang pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan. Seseorang ingin menjadi pemimpin, tetapi jika ia tidak memiliki jiwa kepemimpinan juga akan repot sendiri. Pemimpin itu harus kaya ide, semangat tinggi untuk mewujudkan idenya itu, sabar, ikhlas, suka berkorban dan tentu saja memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk komunitas yang dipimpinnya. Misalnya sebagai pemimpin bank, ia harus tahu tentang perbankan. Pemimpin perusahaan asuransi, ia juga harus memiliki pengetahuan tentang ke asuransian dan seterusnya.

Kedua, seorang pemimpin adalah orang yang bisa mencintai semua bawahannya. Ia harus bisa membagi cintanya, setidak-tidaknya kepada semua orang yang dipimpinnya. Kalimat ini mudah diucapkan dan seolah-olah bisa dimiliki oleh semua orang. Akan tetapi dalam praktek kehidupan sehari-hari, ternyata tidak semua orang yang dipimpin mudah diatur, mengikuti dan mau menjalankan tugas-tugas yang seharusnya diselesaikan olehnya. Anak buah, sebagai manusia biasa, tidak jarang lupa, salah, kurang semangat bekerja dan bahkan juga sesekali membantah, mengkritik dan sampai berani melawan. Sebagai seorang pemimpin harus mampu menghadapi perilaku bawahan apapun sikap-sikap, karakter, watak yang dimilikinya. Mencinai orang yang mencitainya mudah, tetapi tidak gampang bagi siapapun mencintai orang yang sulit diatur dan bahkan memusuhinya.

Seorang pemimpin rasanya tepat jika diumpamakan sebagai seorang pawang binatang buas dalam permainan circus . Pawang mampu membikin permainan indah dari binatang buas. Padahal binatang tersebut selalu memiliki keinginan menerkam, tetapi seorang pawang justru bisa menaklukkan dan memanfaatkan kelebihan singa dan binatang buas lainnya menjadi tontonan yang indah. Seorang pawang tidak pernah segera membunuh binatang piaraannya, hanya karena binatang-binatang itu membahayakan. Bahkan sebaliknya, pawang itu justru menyenangi binatang-binatang buas itu. Dan jika berhasil melatih dan memimpinnya, ia merasa berpretasi. Sebagai pawang singa, juga tidak tertarik jika perannya diganti menjadi pawang kelinci, kucing atau bahkan pawang itik atau bebek. Siapapun tidak pernah mau dan juga tidak akan dihargai sebatas sebagai pawang binatang jinak ini.

Ketiga, sebagai seorang pemimpin harus mengetahui siapa dan akan dibawa ke mana komunitas yang dipimpinnya. Pemimpin tim olah raga, seperti sepak bola, bola folly, basket dan seterusnya kiranya tidak sulit menentukan akan dibawa ke mana timnya itu. Pemimpin olah raga selalu bercita-cita agar suatu ketika meraih juara. Atas dasar pemahamannya terhadap kekuatan tim yang dipimpinnya, ia akan memiliki target-target yang ingin diraih. Misalnya suatu ketika ingkin meraih juara tingkat RT, kemudian juara tingkat desa, selanjutnya secara berturut-turut juara kecamatan, kabupaten, propinsi, juara nasional dan bahkan suatu ketika ingin menjadi pemimpin tim olah raga tingkat dunia. Tingkatan apa yang ingin diraih, seolah pemimpin juga bisa mengukur kemampuan dirinya dan juga anggota tim pemainnya. Misalnya, belum pernah menjuarai tingkat desa, lalu mendaftarkan diri mengikuti kejuaraan tingkat propinsi, maka akan ditertawakan orang. Sedemikian mudah merumuskan visi dan misi pemimpin olah raga. Dan tentu tidak sedemikkian mudah merumuskannya kepemimpinan di bidang lain, misalnya pemimpin pemerintahan, pemimpin partai politik, perusahaan termasuk juga pemimpin perguruan tinggi.

Pemimpin perguruan tinggi misalnya, ternyata tidak semuanya mampu dan berhasil merumuskan visi dan misi secara jelas. Banyak pemimpin perguruan tingi ternyata gagal sebatas hanya merumuskan itu. Tidak sedikit orang kemudian berkomentar terhadap seseorang pimpinan perguruan tinggi yang sudah sekian lama memimpin, tetapi tidak mampu merubah institusinya. Orang kemudian mengomentari atas kegagalannya itu dengan mengatakan bahwa pemimpin tersebut tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Pemimpin perguruan tinggi tersebut tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Ia hanya sebatas mampu menampilkan diri sebagai pejabat, dan bukan sebagai seorang pemimpin, dan seterusnya.

Sementara orang, kadangkala membedakan antara pejabat dan pemimpin. Pejabat biasanya hanya menangani jenis pekerjaan yang sepele, misalnya membuat program tahunan, mengusulkan besarnya anggaran yang dibutuhkan ke atasan, membagi tugas, menjalankan core bisness dan melaporkan hasilnya setiap tahun. Sedangkan pemimpin tidak sebatas melakukan peran-peran itu. Di kepala pemikmpin harus penuh dengan imajinasi, cita-cita, mimpi-mimpi dan gambaran ke depan. Pekerjaan seperti itu ternyata tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Tidak sedikit orang yang miskin cita-cita, imajinasi, mimpi-mimpi dan cita-cita. Belum lagi tiak sedikit pemimpin yang hanya memiliki “aku” kecil. Pada hal pemimpin harus memiliki “aku” besar, yaitu “aku” yang jauh melampaui dirinya.

Penyandang aku besar biasanya tidak saja berpikir untuk diri dan keluarganya. Konsep ini sepele, tetapi sesungguhnya memiliki makna yang mendalam. Pemilik aku kecil tidak akan bisa menjangkau kebutuhan yang diinginkan oleh seluruh anak buahnya. Sebaliknya ia hanya akan berpikir tentang kebutuhannya sendiri, atau jika agak melebar kebutuhan keluarganya. Orang yang beraku kecil anak buahnyha dijadikan sebagai alat untuk memuaskan dirinya. Orang lain yang berposisi sebagai bawahannya diperlakukan sebagai anak buah, buruh pembantu dan bahkan babunya. Anak buah bagi pemimpin yang ber aku kecil, keberadaannya dipandang rendah. Karena itulah maka tidak perlu mendapatkan perhatian yang cukup. Pemimpin seperti ini tidak mau menyisihkan waktunya untguk memikirkan kesejahteraan mereka. Cara memanggil saja, biasanya tgidak menggunakan sapaan yang hormat, cukup menyebut namanya, tanpa memberi identitas kehormatan seperti Pak, Mas dan seterusnya.

Beda dengan pemimpin yang menyandang aku kecil, pemimpin ber “aku” besar, mereka tidak saja berpikir tentang dirinya, melaikan seharĂ­-hari berpikir untuk mengembangkan dan membesarkan anak buahnya. Semua anak buah diberlakukan sebagai pihak-pihak yang memerlukan perhatian dan harus dibesarkan dalam pengertian luas. Pemimpin yang memiliki aku besar, ia sadar bahwa keberhasilannya membesarkan kampus atau lembaga yang dipimp;innya, harus melewati jalan strategis. Jalan strategis yang dimaksudkan itu adalah membesarkan anak buahnya itu. Logika yang digunakan adalah, jika semua anak buahnya menjadi besar ------gaji cukup, pengetahuanh luas, kesejahteraan terjamin, masa depannya jelas dan seterusnya, maka ia akan bekerja keras dan berkualitas, yang ujung-ujungnya kemudian adalah lembaga yang dipimpinnya akan cepat menjadi besar. Inilah pemimpin yang memiliki “aku” besar itu. Ia akan membesarkan seluruh orang yang dipimpinnya.

Jika kepemimpinan adalah seperti ini, maka benar apa yang ditakan di muka bahwa pemimpin memerlukan jiwa kepemimpinan. Selain itu dia harus memiliki “aku” yang lebih besar. Pemimpin bukan seseorang yang hanya akan mendapatkan keuntungan yang bersifat materi atas imbalan dari posisinya sebagai seorang pemimpin. Pemimpin juga tidak boleh hanya berangan-angan agar tatkala menjadi pemimpin agar memiliki gaji yang jumlahnya paling besar, bisa banyak istirahat, makan bergizi, tidur nyenyak, dan menyandang lambang-lambang kebesaran lainnya. Pemimpin agar meraih kesuksesan dalam memimpin justru harus hidup prihatin dan banyak tirakat. Ia harus sanggup mengurangi tidur, membatasi makanan, membatasi istirahat dan lain-lain. Sebagai bentuk tirakat itu misalnya mengurangi tidur, puasa senin kamis dan bahkan puasa dawud, menjauhi hal-hal yang sifatnya hanya sebatas memerdekakan hawa nafsu. Pemimpin sebenarnya, dengan ilustrasi seperti itu, hidupnya menjadi tidak lebih leluasa dan nikmat dari yang dipimpinnya.

Penjelasan yang panjang lebar saya berikan seperti itu, maka anak muda tadi rupanya baru menjadi mengerti bahwa para pemimpin yang kemudian dihormati orang, kata-katanya didengarkan, dicari dan dicintai banyak orang, ternyata memang tidak mudah dijalani. Pemimpin tidak seperti kebanyakan orang lainnya. Ada hal-hal yang orang lain menjalinya dianggap biasa, tetapi tidak selayaknya hal itu dilakukan oleh seorang pemimpin. Pemimpin harus mau berkorban, menanggung resiko, banyak ide, pandai berkomunikasi membangun jaringan, pemimpin harus bersedia membagi-bagi cintanya kepada siapapun, baik mereka yang disukai maupun kepada yang dibenci sekalipun. Menolong orang yang dicintai adalah mudah, tetapi pemimpin juga harus mau menolong orang yang sehari-hari mengritik, mencaci maki dan bahkan membenci sekalipun. Inilah tugas dan tanggung jawab pemimpin yang sesungguhnya. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar